BODY SHAMING DALAM TIMBANGAN DOSA: TIDAK SEMUA BERCANDA ITU HALAL
Oleh: Putri Ayu
Institut Agama Islam SEBI
Masyarakat modern sering kali menjadikan bentuk tubuh sebagai bahan komentar, candaan, bahkan ejekan. Kalimat seperti “makin gendut, ya?” atau “kok iteman sekarang?” dilontarkan seolah-olah tanpa beban. Padahal, komentar semacam itu merupakan bentuk body shaming — tindakan merendahkan penampilan fisik seseorang yang sering kali dibalut dengan niat “bercanda”. Ironisnya, perilaku ini sudah dianggap wajar dalam interaksi sosial, padahal secara moral dan spiritual sangat bermasalah, terutama jika ditinjau dari perspektif Islam.
Body shaming bukan sekadar isu psikologis. Ia adalah cerminan dari lisan yang tidak terjaga. Dalam Islam, menjaga lisan merupakan bagian integral dari keimanan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menekankan pentingnya kontrol terhadap ucapan, termasuk dalam bentuk candaan. Tidak semua hal yang lucu di telinga seseorang dapat dibenarkan secara etika, apalagi jika hal itu menyakiti hati orang lain.
Lebih dari itu, Allah SWT menegaskan larangan menghina sesama dalam QS. Al-Hujurat:11, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain… janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk…” Ayat ini menjadi fondasi moral yang menolak segala bentuk penghinaan, termasuk terhadap tubuh yang merupakan ciptaan Allah. Dengan merendahkan fisik orang lain, sejatinya seseorang sedang mencela penciptaan-Nya.
Dalam konteks sosial, standar kecantikan yang terus berubah—kurus, putih, tinggi, hidung mancung—membentuk tekanan kolektif terhadap masyarakat. Individu, terutama perempuan, merasa terjebak dalam tuntutan yang tidak realistis. Fenomena ini diperparah oleh media sosial yang menghadirkan gambaran “tubuh ideal” yang sering kali hasil manipulasi digital. Akibatnya, mereka yang tidak memenuhi standar tersebut rentan terhadap rasa rendah diri, kecemasan, bahkan depresi.
Penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa korban body shaming dapat mengalami gangguan citra tubuh, pola makan yang tidak sehat, hingga tindakan menyakiti diri sendiri. Anak-anak dan remaja menjadi kelompok yang paling rentan, terutama ketika ejekan terhadap tubuh datang dari lingkungan terdekat seperti keluarga, sekolah, atau teman sebaya. Contoh-contoh seperti “kurus banget, kayak kurang makan”, “hidung pesek banget”, atau “kulitmu kok gosong” bukan sekadar komentar polos; ia adalah bentuk kekerasan verbal yang meninggalkan luka emosional jangka panjang.
Dalam fiqih Islam, menjaga lisan termasuk dalam kategori adab yang wajib dijaga. Lisan adalah anggota tubuh yang kecil namun sangat berbahaya jika tidak dikendalikan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa banyak manusia tergelincir ke neraka karena lisannya. Maka, saat komentar terhadap tubuh orang lain disampaikan tanpa kepekaan, sesungguhnya itu adalah bentuk kezaliman.
Body shaming juga bisa tergolong sebagai ghibah jika dilakukan di belakang orang yang bersangkutan, atau penghinaan jika diucapkan langsung. Kedua-duanya merupakan dosa besar. Bahkan jika dilakukan dalam konteks bercanda, niat baik tidak dapat menghapus dampak buruk dari ucapan yang menyakitkan.
Ayat lain yang relevan adalah QS. At-Tin:4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Dengan ayat ini, Islam menegaskan bahwa setiap manusia adalah ciptaan yang sempurna menurut takaran Allah. Maka, siapa pun yang mencela bentuk tubuh seseorang, secara tidak langsung telah mempertanyakan kebijaksanaan Ilahi dalam menciptakan makhluk-Nya.
Umat Islam, sebagai komunitas yang menjunjung tinggi akhlak, seharusnya menjadi pelopor dalam menumbuhkan budaya saling menghargai. Tubuh bukan sekadar soal estetika, tetapi juga merupakan amanah yang harus dijaga dan dihormati. Islam tidak melarang seseorang merawat diri atau menjaga penampilan, namun menolak keras perilaku menyakiti sesama hanya karena penampilan yang tidak sesuai dengan selera pribadi.
Maka, sudah saatnya masyarakat — terutama umat Muslim — melakukan refleksi kolektif. Body shaming bukan hanya perkara ucapan yang “terpeleset”, tetapi dosa lisan yang nyata. Pendidikan adab sejak dini, literasi media, serta kampanye sosial untuk menghapus budaya ejek-mengejek fisik harus ditingkatkan. Dunia maya maupun nyata harus menjadi ruang aman bagi setiap individu untuk merasa diterima tanpa dihina karena bentuk tubuhnya.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan kembali perintah Nabi: berkata baik atau diam. Ucapan yang tampak remeh bisa menjadi sebab luka bagi orang lain, dan bisa pula menjadi dosa bagi diri sendiri. Lidah memang tak bertulang, tetapi dampaknya bisa menancap lebih dalam dari senjata. Dalam timbangan dosa, body shaming bukan perkara ringan.
Penulis: Putri Ayu
Editor: bisot